Selasa, 14 Februari 2017

Anak saya semakin bodoh?...... bagian 1


Minggu yang lalu ada orang tua yang mengeluhkan nilai UTS anaknya yang kelas 7 SMP  jeblok. Matematika 3, IPA 5 dan Bahasa Inggris 6. Orang tua ini bilang waktu SD anaknya pintar karena pernah juara kelas.
Lalu, ada juga orang tua yang bertanya, “Pak Agus, anak saya sekarang-sekarang ini tidak ada semangat buat belajar, kalo tidak ditemani tidak mao belajar, sulit fokus kalo belajar dan maonya maen terus?, kenapa anak saya semakin bodoh?”....

Hampir semua orang tua ingin anaknya sukses, cerdas, berhasil dalam sekolah dan bahagia. Akan tetapi dalam perjalanannya banyak orang tua yang bingung, salah arah, kecewa dan akhirnya pasrah tidak tahu apa yang harus dilakukan.....

Sebagai hipnoterapis, saya sering di datangi orang tua yang minta anaknya “dirubah” dari malas jadi rajin, dari bodoh menjadi pintar dll, mereka mengira hipnoterapi adalah pil ajaib seperti dalam film, “bim salabim”... maka semua terjadi.

Kita semua tau ( kalo ada yang belum tau, pura-pura tau aja ya), semua sikap, kebiasaan dan attitude anak di rumah adalah proses yang tidak terjadi begitu saja, semua ada prosesnya, semua ada awalnya, PERAN & POLA ASUH  orang tua tidak boleh di abaikan, kalo boleh saya bilang justru berperan paling besar terhadap keadaan anak.

Dalam hal ini saya coba menyoroti kenapa anak yang awalnya punya prestasi bagus disekolah, semangat belajarnya menggebu-gebu waktu di TK dan SD ( biasanya kelas 1,2 dan 3) lalu setelah itu semakin lama semakin menurun prestasinya dan tidak semangat untuk belajar.
 Biasanya orang tua memandang karena pelajarannya makin sulit, gurunya galak, temannya sering membully hingga anaknya tidak nyaman saat belajar. Semua ini bisa benar, bisa juga tidak.
Orang tua lupa atau mungkin tidak tahu bahwa semua anak butuh cinta dan sayang untuk bertumbuh, butuh perhatian, perasaan di terima dan dihargai, juga yang terpenting perasaaan aman, anak adalah manusia yang punya hati dan perasaan.... caileeee.

 Saya haqul yakin saat semua ini terpenuhi, anak akan menunjukkan potensi yang terbaik dalam dirinya.
Jika anak merasa tidak dicintai, ia akan percaya bahwa ia tidak berharga dan merasa tidak ada ruginya untuk berbuat masalah dalam keluarganya.
Lalu cinta yang bagaimana, perhatian dan kasih sayang seperti apa yang anak butuhkan?....


To be continued.....

Kamis, 01 Desember 2016

Growing Your Children, Growing Yourself



Pertama kali membaca kalimat ini saya tidak mengerti, kedua kali juga gak ngerti apa maksudnya,.... itu beberapa tahun yang lalu.... seiring waktu berjalan sampai suatu titik saya baru mengerti setelah saya banyak menghabiskan waktu dengan jagoan saya, laki-laki usia 5,5 tahun.

Ternyata saya banyak belajar dari anak saya.

Ternyata anak saya adalah “guru” yang banyak membentuk saya, bukan sebaliknya.

Semakin saya sering menghabiskan waktu bersama anak, semakin saya tahu bagaimana saya harus bersikap & berbicara. Bahwa ada yang melihat, menilai,  dan mencontoh setiap gerak dan bicara yang saya lakukan. Ternyata benar, anak adalah cerminan orang tuanya.Bahkan cara kita memperlakukan istri dan orang tua juga akan dicontoh persis oleh anak.

Saya sering melarang anak saya baca buku sambil tiduran, dan saat saya melakukannya anak saya dengan ekspresi kesal bilang, “ Ayah, kalo nonton TV jangan bobo’an donk, nanti matanya sakit”,  persis seperti yang saya katakan kalo dia sedang nonton TV dengan posisi tidur.

Lain waktu saya juga selalu berusaha minta anak saya untuk sholat jama’ah di masjid dekat rumah, suatu waktu saat saya sedang sibuk, adzan terdengar dari masjid dekat rumah, anak saya langsung mendekati ayah dan bilang,

“Ayah,  sudah adzan tuch,... ayo sholat!
“Ayah sholat di rumah aja ya, kamu pergi sendiri aja deh”, jawab saya tanpa merasa salah.
“Ahh... ayah, katanya kalo solat harus  jama’ah di masjid”, jawab anak saya dengan polos.....
Dan yang paling saya rasakan adalah, saat saya agak cuek dan kasar pada istri, anak saya juga melakukan hal yang persis sama terhadap ibunya.

Ya Allah, ternyata anak saya telah banyak mengajarkan tentang “Walk the Talk”, bersikap, berlaku dan bertindak sesuai dengan yang kita katakan. Bukanya NATO atau OMDO.

Dalam hati saya berdo’a dan mengucapkan terimakasih karena telah diberi kesempatan untuk belajar bahkan kepada anak, yang baru berusia 5 tahun.
 Anak ‘melihat’ contoh, teladan, sikap, bukan perkataan dan omongan kita.
Ternyata itu makna dari “Growing your children, growing yourself”, bila kita berusaha melakukan apa yang kita katakan, Insya Allah anak ‘tumbuh’ kita juga akan ‘tumbuh’.


“ Terima kasih ya nak, semoga ayah bisa menjadi teladan dan bisa konsisten terhadap apa yang telah ayah sampaikan ke kamu, love you Full!.......

Hipnoterapis anak dan keluarga jakarta
Salam orang tua bijak.

Untuk terapi & konsultasi, hub. 0858-8117-5272


Cara membentuk sikap yang baik pada anak


Seseorang pernah bilang, bahwa sikap baik itu adalah skill atau keahlian yang perlu dilatih, dibiasakan dan di praktekkan

Pembaca. sebagai orang tua sering kita menemui anak yang bersikap kurang baik, merugikan diri sendiri dan  tidak disiplin, mulai dari hal yang remeh, tidak merapihkan kamar,  bangun selalu kesiangan, terlalu banyak nonton tv dan banyak main game.
Saat kita tidak berusaha merubahnya dan membiarkan itu terjadi maka secara tidak langsung kita turut andil dalam pembentukkan sikap itu. Dan merubah kebiasaaan adalah hal yang tidak mudah. Harus ada keinginan kuat, kerja sama dan evaluasi yang kontinyu.
Dalam kesempatan ini saya coba memberikan beberapa langkah yang bisa di coba untuk memperbaiki sikap atau kebiasaan yang ada. Langkah ini penting agar perubahan sikap yang kita inginkan bisa berjalan efektif dan long lasting.
Ada 3 langkah yang bisa dilakukan;
1.      Tentukan sikap atau kebiasaan apa yang mau diubah
2.      Perjelas kebiasaan apa yang mau diubah
3.       Buat rencana dan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk goal yang ingin dicapai
Sekarang coba kita bahas langkahnya satu persatu;
Beri satu kasus yang mau dirubah, misalnya malas belajar.
Langkah pertama adalah dengan membicarakannya dengan si anak tentang sikap yang mau dirubh,  pastikan anak mengerti dan menyadari ada masalah dengan dirinya, formatnya adalah dalam bentuk diskusi, dengan hal ini kita mengajarkan anak untuk mengutarakan pendapatnya, usahakan apapun yang dikatakan anak kita dengarkan dulu, tidak perlu disanggah. Cara ini  anak membuat anak  merasa dihargai dan didengarkan. Anak akan hormat dan pasti akan mendengarkan apa yang akan kita katakan, anak akan meniru perilaku yang kita berikan saat ingin di hargai anak, coba kita hargai anak kita dulu, sesederhana itu.
Setelah anak menyampaikan  perasaannya, kita bisa ajukan pertanyaan ttg sikapnya yang mau dirubah, misalnya sikap malas belajar, lalu ajukan pertanyaan,
Misalnya nama anak Ani.
Ani, ayah perhatikan waktu kamu habis hanya untuk main dan nonton TV, benar itu?
“Benar ayah”, ani merasa banyak buang waktu padahal waktu ujian sebentar lagi.
“Ani mao ayah bantu?”
“Mao ayah, Ani minta maaf  kalau membuat ayah kecewa”.
“Ayah tidak marah sama kamu, ayah hanya menyesalkan sikap kamu yang tidak bisa mengatur waktu”.
“Ya ayah, Ani mau berubah”.
Saat anak mengatakan ini, kita akan jauh lebih mudah untuk membantu anak kita untuk merubah sikap yang merugikan tersebut.
Setelah itu, ajukan pertanyaan berikut dan jauh lebih baik bila anak menjawab dengan menulisnya.
1.       “Apa kerugiannya bila Ani tetap mempertahankan sifat malasnya ini?
Minta si anak untuk menjawab dengan mencatat, minimal 3 kerugian. Mengapa dengan dicatat?.... karena saat mencatat si anak telah mengkases bagian dirinya yang mau berubah dalam hal ini pikiran bawah sadarnya menyadari keberadaan sifat malas ini.
Setelah itu minta anak membayangkan dan merasakan akibat yang timbul  jika ia tetap mempertahankan sifat malasnya ini. 
2.       Minta anak memutuskan dengan sungguh-sungguh  & tulus untuk melepaskan sifat malasnya sekarang dan sekaligus. 
3.      Apa keuntungannya bila ia merubah sifat malasnya itu, minimal 3 jawaban dan di tulis.
4.     Minta anak untuk membayangkan keuntungan dan hal-hal positif yang akan terjadi dalam hidupnya jika dia telah merubah sifat malasnya itu.
Langkah kedua adalah, perjelas kebiasaan yang mau dirubah,
 Saat anak telah yakin bila dia mau berubah dan merasakan kerugian dan  keuntungan yang akan diperoleh dengan kebiasaan yang mau dirubah maka 50% masalah telah terselesaikan.  Setelah itu fokus pada sikap yang mau dirubah, usahakan hanya satu atau maksimal dua sikap, bila lebih si anak akan merasa bebannya berat dan kita sebagai orang tua bisa tidak konsisten bahkan mungkin lupa tentang apa yang mau dirubah. Dan  saat kita fokus, energi yang ada akan bisa maksimal dan efektif.
 Langkah berikutnya adalah mengatur strategi dan langkah-langkah aksi untuk gol atau tujuan yang jelas untuk mencapai perubahan  yang diinginkan.
 “saya akan lebih rajin”
            “saya akan belajar lebih keras”
            “saya akan berusaha maksimal, saya janji”
            Kata-kata di atas bukanlah gol/tujuan yang spesifik tapi hanyalah sebuah harapan yang terlalu umum dan tidak terukur. Banyak orang tua dan anak bingung dengan berjalannya waktu, karena tidak ada tujuan dan waktu yang jelas.
Strategi yang saya maksud disini adalah, goal atau tujuannya harus jelas, ada batas waktu yang terukur Perubahan apa yang ingin terjadi, berapa lama waktu yang dibutuhkan, ini tentang komitmen. Dan yang perlu diperhatikan juga adalah harus realistis dengan keadaan dan kemampuan anak  untuk menghindari hal yang malah membuat kontraproduktif.
Untuk merubah masalah malas belajar, langkah aksi yang  dapat dilakukan misalnya ;
“Saya akan dapat nilai matematika dan IPA minimal 8 untuk akhir semester satu
“saya akan mengerjakan latihan soal matematika dan IPA 5 soal di sore hari dan 5 soal di malam hari.

Nah contoh di atas jelas ( ingin dapat nilai 8 untuk pelajaran Matematika dan IPA untuk semester ganjil dan latihan soal masing-masing 5 soal untuk Matematika dan IPA). 
Jadi kita sebagai orang tua bisa menilai apakah anak kita menjalankan tugas dan langkah-langkah yang telah di janjikan untuk merubah sifat malas belajarnya.

Mendidik dengan konsekuensi


Dalam satu kesempatan ada orang tua bertanya kepada saya,

“Bagaimana ya pak cara menjadikan anak bertanggung jawab, karena selama ini saya sudah menerapkan beberapa cara untuk membuat anak saya belajar tanggung jawab”.

“Cara apa yang ibu lakukan selama ini?”, jawab saya.

“Saya selama ini biasanya dengan pendekatan punishment, atau hukuman, tapi ini hanya efektif beberapa saat, setelah itu biasanya anak saya akan mengulangi hal yang mirif dan kembali tidak perduli”.

“ Oh begitu ya, saya juga dulu pernah melakukan seperti itu, saya coba terapkan hukuman yang bertingkat dari yang paling ringan sampai yang paling berat, dan ternyata itu kurang efektif. Karena efek yang muncul adalah anak semakin resist dan ‘biasa’ dengan hukuman dan itu tidak memberikan pelajaran apapun ke anak saya”.

Dan akhirnya saya punya cara yang lebih efektif, dan ini juga mungkin bisa terjadi pada anak ibu.

Lalu saya mulai cerita tentang cara yang saya gunakan di rumah.

Salah satu teknik yang selama ini saya pakai adalah teknik konsekuensi. Apa itu konsekuensi?

Saya kutif dari KBBI, konsekuensi adalah akibat, dari suatu perbuatan, pendirian atau keputusan.

mengapa efektif ?... karena konsekuensi terjadi secara natural dari pilihan, tindakkan dan keputusan yang di ambil anak-anak kita, contohnya saat si anak malas dan tidak mau belajar maka nilainya akan jelek, saat si anak tidur terlalu malam maka paginya akan mengantuk. si anak akan merasakan langsung, mengalami dan sampai satu titik menyadari akibat dari keputusan atau pendirian yang dibuatnya.

Konsekuensi secara tidak langsung juga mengajarkan tentang tanggung jawab, pilihannya adalah tanggung jawabnya. Untuk setiap akibat yang timbul, kita sebagai orang tua ‘hanya’ membantu mereka bagaimana untuk menghadapi semua akibat dari pilihannya. Jadi di sini anak belajar tentang konsekuensi pilihan atau tindakkan yang dibuatnya, ada proses belajar dari kesalahannya hingga si anak akan belajar untuk bersikap lebih baik di masa depan. Ini yang namanya belajar pada kehidupan.

Dengan cara konsekuensi kita sebagai orang tua juga mencontohkan bagaimana menghargai suatu keputusan atau tindakkan yang diambil orang lain. Dan kita sebagai orang tua hanya mengingatkan akibat yang akan timbul, konsekuensi apa yang akan diterima, atas semua pilihannya.

Misalnya, waktu ujian sudah dekat, kita bisa ingatkan dan ajak anak untuk belajar lebih sering dan rajin, jika si anak cara belajarnya tidak berubah dan menyepelekan waktu yang ada, kita beritahu bahwa bisa jadi nilainya bisa tidak memuaskan dan tidak dapat hadiah yang dijanjikan.

Saat pembagian rapot dan nilainya ternyata rendah, kita tidak usah marah atau emosi. Kita cukup panggil anak kita dan katakan,

“ Nak, ini nilai kamu atas pilihan kamu tidak merubah cara belajar dan sering menunda, bagaimana menurut kamu?”...

“Apa pelajaran yang kamu dapat dari pilihan kamu ini?”

“Dan menurut kamu, apa yang harus kamu perbaiki dari sikap kamu ini?”

Biarkan anak menjawabnya dan berpikir. Jaga emosi kita. Fokus pada masalah yang ada dan bimbing anak agar dapat pelajaran dan hikmah atas pilihannya.

Setelah itu saya akan menutup dengan mengatakan, “Kamu sudah dapat pelajarannya, ayah/ibu bangga sama kamu. Kamu semakin dewasa dan bijaksana”.

Jangan lupa dipeluk dan katakan, I love you full.

Biasanya ini akan sangat efektif dan anak bisa belajar tentang konsekuensi.

“Itu yang saya lakukan, kalau memang cocok, bisa terapkan ke anak ibu”. Saya menutup pembicaraan.

Untuk Terapi dan Konsultasi, hubungi; 08588-1175-272



Ucapan terima kasih


Mungkin teman-teman masih ingat ketika kita masih kecil dan ada seseorang memberi permen atau hadiah, orang tua kita segera berkata, “Ayo, bilang apa?” mereka berusaha membuat kita untuk mengucapkan “terima kasih”. Sebagai orang tua mereka berusaha menerapkan sopan santun, tata krama, etika atau apapun namanya dengan berkata “terima kasih”, dan merasa dipermalukan jika anaknya hanya mengambil dan tanpa kata langsung lari atau jalan pergi.


Orang tua yang mendidik akan dengan tegas meminta anak-anaknya untuk berkata “terima kasih”. Kata terima kasih adalah respon yang sederhana dan “diharapkan” saat seseorang telah membantu kita, memuji baju baru kita, atau sekedar menanyakan kabar.

Tapi sering saya temui anak yang merasa berat mengucapkan terima kasih saat orang tuanya yang membantu, atau suami ke istri atau orang tua ke anak. Apakah karena terlalu sering atau karena memang suatu kewajiban orang tua ke anak, istri ke suami maka tidak perlu mengucapkan terima kasih?... Padahal ucapan sederhana ini pengaruhnya begitu kuat, sang istri yang melayani saat makan malam dan suami mengucapkan terima kasih sambil memandang istrinya dengan tulus dan tersenyum, saya jamin rasa capek yang dirasakan istri akan langsung sirna dan menjadi energi pengganti setelah seharian bekerja mengurus anak dan rumah.

Atau saat anak mengucapkan terima kasih karena sudah di temani saat membuat PR atau di antar ke sekolah, karena kata “terima kasih” bisa juga sebagai ekspresi dan isyarat rasa sayang dan cinta kita terhadap seseorang juga peningkatan hubungan yang akrab antara anak dan orang tua.

“Terima kasih” bisa sebagai bentuk penghargaan kita atas perlakuan orang lain atau waktu yang disisihkan seseorang atau pelayanan yang diberikan untuk kita. Menurut saya akan lebih baik lagi saat kita mengucapkan terimakasih kita ucapkan sambil mengatakan secara jelas mengapa kita berterima kasih. Misalnya ; “terima kasih, atas bantuan anda yang telah meringankan pekerjaan saya, anda telah melakukan pekerjaan yang baik sekali” atau “saya menghargai bantuan dan pertolongan anda”.


Sebagai orang tua kita dapat berterimakasih kepada anak kita karena telah kerja keras di sekolah, dengan memberikan hadiah spesial untuk nilai rapor yang baik. Akan lebih mengena saat memberikan kita katakan “ terima kasih ya nak, kamu harus bangga pada diri kamu sendiri, atas kerja keras dan kesungguhan kamu belajar kamu dapat nilai yang bisa dibanggakan”, saya jamin hati anak akan berbunga-bunga dan pasti akan menjaga dan meningkatkan usahannya mendapat nilai yang baik.

Yang tidak kalah penting dari itu semua adalah berterima kasih pada Tuhan, atas kelimpahan yang diberikan , kesehatan, waktu luang, keluarga yang harmonis, anak-anak yang baik, karuni cinta dan kasih sayang, tetangga yang perduli dan apapun itu. sesuaikan perilaku kita kedalam tindakkan dengan berbagi kepada sesama.

Saya percaya rasa terima kasih itu dahsyat dan bisa mendahsyatkan orang lain, menciptakan lingkungan yang positif dan membahagiankan. Jadi jangan sepelekan ucapan “terima kasih”.


Terima kasih atas waktu teman-teman semua mau membaca artikel singkat saya ini.

Untuk terapi dan konsultasi, hubungi : 08588-1175-272

Contohkan, jangan banyak bicara


“Tindakkan anda memiliki kekuatan lebih dahsyat untuk mempengaruhi orang lain dari pada perkataan anda”

source Google
Ucapan di atas saya kutif dari penulis dan penyair Irlandia, Oliver Gold Smith, dan ada benarnya dengan  kita sebagai orang tua yang sering menemui kesulitan saat menemui anak punya kebiasaan yang tidak sesuai seperti yang kita harapkan.
Contoh dan teladan jauh lebih efektif dari pada nasihat atau perintah. Saat kita sebagai orang tua secara rutin merapikan tempat tidur di pagi hari, anak akan melihat dan dengan berkata sekali kepada si anak untuk merapikan tempat tidurnya anak pasti akan melakukannya. Saat kita rajin membaca, pasti akan mudah buat kita meminta anak untuk mau membaca, saat kita jarang menonton TV, pasti akan mudah buat kita untuk membatasi anak menonton TV.
Jadi kalau kita sebagai orang tua punya kebiasaan merokok dan kita mau  melarang anak untuk tidak merokok, jangan marah kalau anak mentertawai  atau melawan kita, jangan kecewa kalau suatu hari memergoki anak kita sedang merokok , saat anda minta anak anda makan sayur sementara anda melahap hamburger ukuran jumbo, kira-kira apa yang ingin anak makan?... atau anda selalu teriak, memekik atau melempar benda sekitar anda  saat sedang marah, menurut anda apa reaksi anak anda ketika sedang marah ?.... tepat sekali.
Menurut suatu penelitian, di dalam otak ada yang namanya sel saraf cermin ( mirror neurons), sel saraf  ini fungsinya untuk meniru apa yang kita lihat.
Bagaimana sel saraf  ini bekerja? Ketika anak anda  mengamati sesuatu, sel saraf cermin memproses informasi tersebut dalam salah satu bagian otak, kemudian mengirimkan sinyal ke bagian otak lain untuk mengulang perilaku yang baru saja anak anda saksikan. Jadi sebenarnya sangat mudah untuk membentuk kebiasaan positif anak. Saya jadi teringat suatu quote yang cukup mewakili ini semua, “growing your children, growing yourself”,
Pelajaran yang bisa dipetik disini adalah cara terbaik untuk membentuk kebiasaan anak yang kita harapkan adalah dengan memberi contoh atau teladan. Bukankah  ini adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua untuk menjadi panutan anak kita?...
 Untuk terapi & konsultasi, hub. 0858-8117-5272

Salam orang tua bijak    

MENJADI TERAPIS UNTUK ANAK KITA YUUUKKS


“Terapis dan konsultan terbaik anak adalah orang tuanya”


Pada dasarnya semua anak adalah makhluk yang “Well Behave” berlaku dan bersikap baik. Namun lingkungan dan pola asuh yang kurang pas membuat sikap anak sering tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan dan kita menyebutnya ‘nakal’.

Cara paling mudah untuk mengenali masalah anak adalah dengan memperhatikan sikap dan perilakunya, penting untuk diingat, menjadi orang tua ( baca; parenting) tidak seperti ilmu eksak yang 2+2=4. Kita harus senantiasa mengevaluasi dan “open” dengan perubahan yang ada, saat anak lebih rewel, sulit di atur dll. Kita harus evaluasi lebih dulu sikap dan perilaku kita.

Pada kesempatan ini saya mao berbagi cara terapi anak kita sendiri, saya menyebutnya ‘terapi kata-kata’.
Ya benar, terapi kata-kata, terapi ini sangat efektif jika kita sering mengulangnya, memang perlu waktu dan proses lebih lama tapi hasilnya akan lebih ‘long lasting’, syaratnya adalah lakukan sesering mungkin.

Lalu bagaimana caranya??? Ada beberapa langkah yang harus dilakukan tapi awal yang penting buat kita sebagai orang tua adalah; penuhi diri kita dengan niat yang tulus, tenang, penuh kasih sayang dan sabar atas apapun respon yang anak berikan juga yakin tentunya.

Saat anda berkata-kata atau bicara dengan anak, pastikan;

A. Tatap matanya,
Usahakan mata kita dan anak sejajar, kalau anak masih kecil kita bisa jongkok saat bicara dan tatap matanya.
B. Pegang/sentuh tubuhnya
Bisa dipegang pundaknya, tangannya atau untuk anak yang masih kecil bisa sambil di pangku atau dipeluk.
C. Katakan dengan nada pelan tapi tegas, 

1. katakan apa yang ingin kita sampaikan, saya ulangi, “katakan apa yang kita inginkan”, bukan apa yang tidak kita inginkan, misalnya; kita ingin anak kita bangun pagi, katakan “besok pagi kamu bangun pagi dengan mudah ya” jangan katakan; “besok kamu jangan bangun siang-siang ya!”

2. Jangan lupa untuk menggunakan kata-kata yang progressif.
Misalnya; “Semakin hari kamu semakin ........ “.
Perhatikan juga intonasi suara pada kata yang kita ingin tekankan ( saya beri garis dan bold) , misalnya.
“ Semakin hari kamu semakin rajin belajar”.
“semakin hari kamu semakin mudah bangun pagi”

D. Beri kepercayaan kita pada anak, bisa katakan “ mamah/ayah percaya kamu semakin hari semakin bisa bangun pagi”.

Nah mudahkan? The last but not least, dalam teknik ini kita harus sabar, pengalaman saya dalam waktu seminggu jika kita rutin dan konsisten akan terlihat hasilnya, walau setiap anak beda-beda terhadap respon yang diberikan, yang jelas kita harus sebagai orang tua harus sering, konsisten dan tulus dalam menyampaikannya jangan lupa untuk menyayangi dan mendukung apa adanya.
,
 Pastikan anak merasa diterima, aman, dan di sayang.

Untuk terapi dan konsultasi, hubungi : 08588-1175-272